Friday 10 April 2009

Bergandeng Tangan Produksi Tiram

Enak betul Ayi Muhidin, pekebun jamur di Cugenang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Setiap hari seorang pengepul menjemput hasil panen ke rumahnya. Dari 3 kumbung berkapasitas 100.000 baglog, ia menuai 200 kg jamur per hari. Pengepul membayar Rp6.000 per kg sehingga omzetnya Rp36-juta per bulan. Jika kesulitan memasarkan ia tinggal angkat telepon. Pekebun inti akan memasarkan seluruh produksinya.

Namun, selama 3 tahun mengebunkan jamur ia tak pernah menghadapi kesulitan itu. Setiap hari pengepul menyambangi rumahnya, mengangkut jamur, dan membayar tunai saat itu juga. Untuk menjadi pekebun jamur, ia membeli baglog yang sudah diinokulasi miselium di pekebun inti, Triono Untung Priyadi. Lokasi kumbung Triono 5 km dari rumah tanamnya. Harga sebuah baglog berbobot 1,2 kg itu Rp1.350.

Sedangkan biaya perawatan selama 5 bulan Rp1.600 per kg. Total jenderal biaya produksi Rp2.950 per kg. Artinya, Ayi memetik laba bersih Rp3.050 per kg atau total Rp11.700.000 per bulan. Menurut Ayi pendapatan itu jauh lebih besar ketimbang omzet dari setoran 12 angkutan kota miliknya yang melayani trayek Cisarua - Mariwati. Itulah sebabnya ia berniat memperluas kumbung.
Terjamin

Bagaimana tak tergiur memperluas, pekebun inti sangat membantu. Bayangkan, Ayi menerima baglog yang sudah diinokulasi. Ia tinggal meletakkan baglog di rak tanam, lalu merawatnya. Jika gagal tumbuh, pekebun inti akan mengganti. Soal pemasaran, pekebun inti bersedia menampung jika plasma kesulitan memasarkan. Itulah sebabnya jumlah pekebun seperti Ayi terus bertambah.

Kini Triono bekerja sama dengan 25 pekebun plasma di Cianjur dengan kepemilikan 30.000 - 100.000 baglog. Total produksi 25 pekebun plasma itu mencapai 1 ton per hari yang terserap pasar. Itu pun belum semua permintaan terpenuhi. Permintaan pengepul di Bekasi dan Tangerang 600 kg per hari belum terlayani. Kondisi itu yang mendorong Wahyu tertarik menjadi pekebun plasma. Maka sejak 8 bulan lalu ia mengelola 20.000 baglog.

Triono mengembangkan kemitraan sejak 2004. Kini ia mengelola 8 kumbung yang mampu menampung 386.000 baglog. Dari rumah-rumah tanam itu Triono menuai rata-rata 750 - 1.000 kg jamur setiap hari. Dengan harga jual Rp6.750 per kg, omzetnya Rp5.062.500 sehari atau Rp150-juta sebulan.

Untuk memenuhi pekebun mitra, alumnus Universitas Gadjah Mada itu memproduksi 4.000 baglog setiap hari. Sementara untuk memenuhi kumbung pribadi juga 4.000 baglog. Kemitraan semacam itu juga dikembangkan oleh Rahmat, pekebun di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung.
Sekaligus sewa

Rahmat bukan hanya memasok baglog yang sudah diinokulasikan, tetapi juga kumbung. Artinya, pekebun tak perlu repot membangun rumah tanam. Begitu uang sewa dibayar, pekebun tinggal mengelola baglog-baglog menjelang panen. Praktis memang. Menurut Rahmat biaya sewa sebuah kumbung 8 m x 9 m plus 10.000 baglog hanya Rp1,1 juta per 4 bulan. Selama 3 bulan, pekebun terus-menerus memetik jamur tiram.

Lihat saja Ai Ratna Ningsih, pekebun penyewa yang menjadi mitra Rahmat. Dua tahun terakhir ia rutin mengantongi Rp18-juta per bulan hasil penjualan 3 ton jamur tiram. Sekarang Ratna mengelola 3 kumbung terdiri atas 30.000 baglog. Pada hari ke-40 ia membuka ujung baglog. Sejak itu ia rutin menyiram pada pagi dan sore. Sepekan kemudian, baglog baglog mulai mengeluarkan jamur-jamur berwarna putih.

Jika ada yang gagal tumbuh, Ratna tak khawatir lantaran Rahmat menjamin akan mengganti baglog yang gagal tumbuh. Rata-rata dari setiap baglog dapat dipanen 4 ons jamur. Total jenderal sampai bulan ke-4, ia memetik 4 ton jamur dari satu kumbung. Artinya, dengan harga Rp6.000 per kg, omzet Ratna Rp72-juta per periode dari 3 kumbung.

Setelah dikurangi biaya produksi seperti pembelian baglog, sewa kumbung selama 4 bulan, dan listrik, masih tersisa laba bersih Rp 12-juta dalam waktu 4 bulan. Penghasilan itu jauh di atas pendapatan sehari-harinya sebagai penjahit. Pantas, jika Ratna terus mengembangkan kumbung. 'Saya berani menyewa karena melihat baglog tetangga yang sukses mengebunkan jamur,' kata Ratna.

Menurut Kudrat Slamet, ketua Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia, pasar jamur tiram kian meluas. Produksi tiram di Desa Kertawangi, Kabupaten Bandung, saja mencapai 7 ton per hari. Itu belum mencukupi kebutuhan pasar yang mencapai 15 ton sehari. Setahun terakhir, misalnya, banyak permintaan jamur dari Cirebon, Garut, dan Sumedang.

Pasar berkembang juga karena muncul beragam olahan jamur tiram yang lezat antara lain sebagai keripik. Adi Yuwono, pengamat jamur nasional, mengatakan tren organik turut mendongrak pasar jamur. Pada umumnya jamur tumbuh organik - tanpa pestisida kimia.
Baglog

Tingginya permintaan jamur juga mempengaruhi produksi baglog. Yanti Heryanti menggunakan 2 kumbung besar berkapasitas 50.000 baglog. Ia membeli baglog dari Rahmat. Lalu 'membesarkan' miselium dan menjual kembali baglog itu 40 hari kemudian. Saat itu spora sudah menyebar ke seluruh permukaan baglog sehingga tampak warna putih.

Kegagalan tumbuh miselium biasanya sebelum hari ke-40. Makanya, banyak pekebun memilih membeli baglog umur 40 hari. Setiap 40 hari Yanti menjual hingga 40.000 baglog. Menurut Yanti tingkat kegagalan merawat miselium mencapai 20%. Dari 50.000 baglog yang ia rawat, 10.000 di antaranya tak berkembang alias miselium tak menyebar. Dengan harga jual Rp2.250 maka laba bersihnya mencapai Rp600 per baglog atau Rp6-juta selama 40 hari. Pembeli baglog itu antara lain para pekebun di Bogor, Tangerang, dan Karawang.

Slamet, produsen baglog di Kaliurang, Yogyakarta, mengatakan sejak 2007 penjualan baglog jamur tiram sebesar 70%. Padahal, sebelumnya penjualan baglog didominasi jamur kuping. Tren berkebun tiram nyata terlihat dari banyaknya pekebun jamur kuping yang beralih ke tiram.

Saat ini, dari 200 pekebun di Kaliurang, Yogyakarta, sekitar 140 merupakan pekebun jamur tiram. Padahal, dulu jumlah pekebun jamur kuping yang paling banyak. Pendatang baru pun bermunculan seperti Endro Pranowo. Pada awal November 2008, ia membenamkan modal Rp9-juta untuk menyulap kandang ayamnya menjadi kumbung jamur berkapasitas 4.000 baglog.

Akhir Desember 2008, sudah 4 hari Endro Pranowo memanen masing-masing 30 kg jamur per hari. Endro memprediksi panen stabil 30 kg per hari selama 2 bulan. Artinya dengan harga jamur di Yogyakarta Rp8.000 per kg di tingkat petani, selama 2 bulan Endro memperoleh Rp14,4 juta dari panen 1,8 ton.

Bahkan harga bisa lebih tinggi sampai Rp10.000 per kg lantaran Endro menjual langsung ke pedagang di pasar di Kranggan, Kolombo, dan Condongcatur. Dengan bergandeng tangan - antara pekebun plasma dan inti - lebih mudah menembus pasar.

Sumber: Trubus

0 comments:

Post a Comment